Rabu, 21 September 2011

Resume Visualisasi Informasi Pertemuan 2

Nama/NIM : Fitriana Faristia / 10.41010.0206
Dosen         : Ach Teguh


Hubungan antara Words dan Images 

Semiotika

Semiotika adalah cabang ilmu yang semula berkembang dalam bidang bahasa.Dalam perkembangannya kemudian semiotika bahkan merasuk pada semua segikehidupan umat manusia. Semiotika menurut Zoest (1992) adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda yang lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Charles Sanders Peirce (Zoest, 1992), ahli filsafat dan tokoh terkemuka dalam semiotika modern Amerika menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Tanda yang dimaksud dapat berupa tanda visual yang bersifat non-verbal, maupun yang bersifat verbal.
Semiotika adalah ilmu tanda, istilah ini berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Winfried Noth (1993:13) menguraikan asal-usul kata semiotika; secara etimologi semiotika dihubungkan dengan kata Yunani sign = sign dan signal = signal, sign .
Tanda terdapat dimana-mana : ‘kata’ adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan (arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda.
Dalam kehidupan sehari-hari kita tanpa sadar telah mempraktekkan semiotika atau semiologi dalam komunikasi. Misalkan saja ketika kita melihat lampu lalu lintas yang menunjukkan warna merah maka otomatis kita menghentikan kendaraan kita, dan kita memaknai lampu hijau artinya jalan. Atau pada rambu-rambu lalu lintas tanda P dicoret maka kita tahu bahwa kita tidak boleh memarkirkan kendaraan di lokasi tersebut. Ketika kita memaknai tanda P dicoret itu, kita telah berkomunikasi, kita telah melakukan proses pemaknaan terhadap tanda (sign) tersebut.
Dalam komunikasi massa, semua bentuk dan isi media massa pada dasarnya adalah tanda. Iklan adalah tanda, berita adalah tanda, foto adalah tanda, film adalah tanda, suara penyiar radio adalah tanda, presenter adalah tanda, bahkan pesawat televisi itu sendiri juga merupakan tanda.
Menurut John Fiske (1990) semiologi memiliki tiga bidang studi utama. Pertama, tanda itu sendiri. Hal iini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. Kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengekspolitasi saluran komunikasi untuk mentransmisikannya. Ketiga, kebudayaan atau tempat kode tanda bekerja. Ini gilirannya tergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Dalam semiologi, penerima atau pembaca pesan, dipandang memiliki peran yang aktif, dibandingkan dalam paradigma transmisi di mana mereka dianggap pasif. Semiologi lebih suka memilih istilah “pembaca” untuk komunikan, karena “pembaca” pada dasarnya aktif dalam menciptakan pemaknaan teks atau tanda (sign) dengan membawa pengalaman, sikap, emosi terhadap teks atau tanda tersebut (Fiske, 1990).
Diantara sekian banyak pakar tentang semiotika ada dua orang yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang dapat dianggap sebagai pemuka-pemuka semiotika modern (Noth 1990:39). Kedua tokoh inilah yang memunculkan dua aliran utama semiotika modern : yang satu menggunakan konsep Peirce dan yang lain menggunakan konsep Saussure. Ketidaksamaan itu mungkin terutama disebabkan oleh perbedaan yang mendasar : Peirce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah cikal-bakal linguistik umum. Pemahaman atas dua gagasan ini merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin memperoleh pengetahuan dasar tentang semiotika.
Menurut Peirce kata ‘semiotika’, kata yang sudah digunakan sejak abad kedelapan belas oleh ahli filsafat Jerman Lambert, merupakan sinonim kata logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran, menurut hipotesis Pierce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotika bagi Pierce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence) atau kerja sama tiga subyek yaitu tanda (sign), obyek (object) dan interpretan (interpretant).
Di sisi lain, Saussure mengembangkan bahasa sebagai suatu sistim tanda. Semiotik dikenal sebagai disiplin yang mengkaji tanda, proses menanda dan proses menandai. Bahasa adalah sebuah jenis tanda tertentu. Dengan demikian dapat dipahami jika ada hubungan antara linguistik dan semiotik. Saussure menggunakan kata ‘semiologi’ yang mempunyai pengertian sama dengan semiotika pada aliran Pierce. Kata Semiotics memiliki rival utama, kata semiology. Kedua kata ini kemudian digunakan untuk mengidentifikasikan adanya dua tradisi dari semiotik. Tradisi linguistik menunjukkan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan nama-nama Saussure sampai Hjelmslev dan Barthes yang menggunakan istilah semiologi. Sedang yang menggunakan teori umum tentang tanda-tanda dalam tradisi yang dikaitkan dengan nama-nama Pierce dan Morris menggunakan istilah semiotics. Kata Semiotika kemudian diterima sebagai sinonim dari kata semiologi (Istanto, 2000).
Ahli-ahli semiotika dari aliran Saussure menggunakan istilah-istilah pinjaman dari linguistik. Pada masa sesudah Saussure, teori linguistik yang paling banyak menandai studi semiotik adalah teori Hjelmslev, seorang strukturalist Denmark. Pengaruh itu tampak terutama dalam ‘semiologi komunikasi’. Teori ini merupakan pendekatan kaum semiotika yang hanya memperhatikan tanda-tanda yang disertai maksud (signal) yang digunakan dengan sadar oleh mereka yang mengirimkannya (si pengirim) dan mereka yang menerimanya (si penerima). Para ahli semiotika ini tidak berpegang pada makna primer (denotasi) tanda yang disampaikan, melainkan berusaha untuk mendapatkan makna sekunder (konotasi) (Istanto, 2000).
Menurut Saussure, tanda mempunyai dua entitas, yaitu signifier (signifiant / wahana tanda / penanda / yang mengutarakan / simbol) dan signified (signifie / makna / petanda / yang diutarakan / thought of reference). Tanda menurut Saussure adalah kombinasi dari sebuah konsep dan sebuah sound-image yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara signifier dan signified adalah arbitrary (mana suka). Tidak ada hubungan logis yang pasti diantara keduanya, yang mana membuat teks atau tanda menjadi menarik dan juga problematik pada saat yang bersamaan (Berger, 1998: 7-8).
Menurut Peirce (dalam Hoed,1992) tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan. Jika sesuatu, misalnya A adalah asap hitam yang mengepul di kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yaitu misalnya sebuah kebakaran (pengalaman). Tanda semacam itu dapat disebut sebagai indeks; yakni antara A dan B ada keterkaitan (contiguity). Sebuah foto atau gambar adalah tanda yang disebut ikon. Foto mewakili suatu kenyataan tertentu atas dasar kemiripan atau similarity (foto Angelina Jolie, mewakili orang yang bersangkutan, jadi merupakan suatu pengalaman). Tanda juga bisa berupa lambang, jika hubungan antara tanda itu dengan yang diwakilinya didasarkan pada perjanjian (convention), misalnya lampu merah yang mewakili “larangan (gagasan)” berdasarkan perjanjian yang ada dalam masyarakat. Burung Dara sudah diyakini sebagai tanda atau lambang perdamaian; burung Dara tidak begitu saja bisa diganti dengan burung atau hewan yang lain, dan seterusnya (Istanto, 2000).
Ketika semua bentuk komunikasi adalah tanda, maka dunia ini penuh dengan tanda. Ketika kita berkomunikasi, kita menciptakan tanda sekaligus makna. Dalam perspektif semiologi atau semiotika, pada akhirnya komunikasi akan menjadi suatu ilmu untuk mengungkapkan pemaknaan dari tanda yang diciptakan oleh proses komunikasi itu sendiri.

semantik

semantik merupakan ilmu tentang makna suatu kata atau kalimat. Kata berasal dari bahasa yang memiliki hubungan erat dengan masyarakat penuturnya. Dengan demikian, analisis semantik pada suatu bahasa, belum tentu dapat digunakan pada bahasa lainnya. Apalagi, menurut data UNESCO, di dunia terdapat lebih dari 6.000 bahasa dengan berbagai kosakata dan kaidah penggunaan yang berbeda.
Pada generasi web semantik, kecerdasan piranti lunak—yang sejatinya dibuat oleh programer—harus dapat memaknai beragam kata dari berbagai bahasa. Misalnya, mampu membedakan bahwa kata bisa dalam kalimat “saya bisa menulis” dan “bisa ular ganas” memiliki makna yang berbeda. Atau, kata “wanita” dan “perempuan” memiliki makna yang sama.



 Sintaktik

Sintaktik berasal dari bahasa Yunani “Suttatein” yang artinya mengatur, mendisiplinkan, menyeragamkan. pengolahan/seleksi untuk mencapai keberaturan dan keserasian sebagai satu kesatuan bahasa bentuk, sistem visual, gaya visual 
Mis : dalam sign-system ada kesamaan penggunaan sistem visual, lay out surat kabar harian meski isinya beda tiap terbit namun keberaturan lay out yang sinambung membina rubrikasi bagi pembaca 
Dalam aspek sintaktik keberaturan dan keseragaman sebuah desain diatur dalam teori konstanta dan variabel:
KONSTANTA : unsur yang menyamakan
VARIABEL : unsur yang membedakan




Pendekatan pragmatik(pragmatis approach)

Dalam kamus sosiologi kata pragmatik (prgmatics) diartikan sebagai telaah terhadap hubungan antara tanda-tanda dengan penggunaannya, sedangkan pragmatisme (pragmatism) diartikan sebagai suatu ajaran yang menyatakan bahwa arti suatu proposisi tergantung pada akibat-akibat praktisnya.
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya (Pradopo, 1994).
Pendapat Horatius yang ditulis dalam bukunya Ars Poetica pada tahun 14 SM menyatakan bahwa tolok ukur sastra ialah utile ‘bermanfaat’ dan dulce ‘nikmat’. Selain itu, ia pun sekaligus mengungkapkan pendekatan sastra yang menitikberatkan pada peran pembaca (pendekatan pragmatik) dalam pendekatan teori Barat, sering dipermasalahkan urutan utile dan dulce itu, mana yang harus didahulukan, ‘bermanfaat’ dahulu baru ‘nikmat’ atau justru sebaliknya ‘nikmat’ dulu baru ‘bermanfaat’ – masalah antara pendekatan moralis (manfaat) dan estetik (nikmat), namun hal ini barangkali lebih tepat disebut perbedaan dalam tekanan (estetik baru tersendiri pada zaman romantik di dunia Barat).
Pendapat bahwa seni sebagai struktur yang dilandasi ciri khasnya sebagai sign ‘tanda’ yang baru mendapat makna lewat persepsi pembaca dipelopori oleh Jan Mukarovsky dan muridnya Felix Vodicka.
Meskipun sudah dilancarkan sejak tahun tiga puluhan, pendapat ini baru dikenal pada tahun enam puluhan di Eropa melalui terjemahan dalam bahasa Inggris (dari bahasa Rusia) dan sejak itulah perhatian atau penekanan teks sebagai struktur (strukturalisme) bergeser ke arah pembaca yang dilandasi antara lain oleh teori konkretisasi dari Vodicka. Konsep ini berasal dari Roman Ingarden yang menyatakan bahwa karya sastra mempunyai kemandirian terhadap kenyataan dan bersifat skematik-selektif, tidak pernah menciptakan gambar (dunia) yang bulat lengkap setiap membayangkan kenyataan. Dalam setiap karya sastra terdapat Unbesttimmtheitsstellen’tempat-tempat yang tidak tertentu atau kosong’, yang tidak terisi oleh karya sastra dan pengisiannya terserah kepada pembaca menurut kemampuan dan seleranya. Inilah yang disebut konkretisasi namun, menurut Ingarden, hal ini dibatasi oleh struktur karya seni yang singkat secara objektif.


Daftar Pustaka:
Berger, Arthur Asa, Media Analysis Techniques, 2nd edition, Thousand Oakes: Sage, 1998.
Fiske, John, Introduction to Communication Studies, 2nd edition, London: Routledge, 1990
Istanto, Freddy H., Rajutan Semiotika untuk Sebuah Iklan; Studi Kasus Iklan Long Beach, Jurnal Nirmana Vol. 2, No. 2, Juli 2000

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More